Pelangi Sesudah Hujan
Minggu, 07 April 2013
0
komentar
Sejenak
aku diam menyaksikan langit yang ditutupi awan hitam, angin sepoi-sepoi yang
bertiup pelan membawakan irama kebebesan, dari dedaunan sampai rumput pun ikut
menari pelan menyambut akan datangnya anugrah tuhan… disini hanya aku dan
seekor semut hitam yang tak gembira bakal datangnya hujan. Apalagi Sudah tiga
hari berturut-turut hujan telah
melumpuhkan mata pencarianku. Tidak hanya aku bahkan ratusan petani karet
dikampung ku pun ikut tenggelam dalam ketidak berdayaan, harga karet yang sekarang
berkisar di angka 9 ribu per kilo. Belum lagi faktor cuaca yang membuat kami
pesimis untuk melanjutkan metamarfosa kehidupan ini. Banyak diantara kami
petani karet yang berubah profesi karena keadaan ini, tapi aku tak tau kemana
lagi harus mengadu nasib. Bukankah selama ini aku hanya menorehkan
angan-anganku di epidermis yang tak mungkin terjamah oleh kenyataan. Hanya 300
batang karet ini lah tumpuan harapanku untuk terus bisa tersenyum menatap
matahari. Gerimis kecilpun mulai turun, aku pun berteduh di panggung tua yang
dibangun lima belas tahun yang lalu. Pakaian lusuh yang kupakaipun sama tuanya
dengan panggung itu. kini gerimis telah berganti dengan hujan.
Anganku pun melayang dalam dimensi waktu
ketika 15 tahun yang lalu ditanah ini kami sekeluarga mengisi waktu dihari
minggu, berjibaku dengan tanah untuk menanam sayur-sayuran. Kadang kejar-kejaran
dengan belalang entah untuk apa akupun sudah lupa. Ironis memang… tapi bahagia
rasanya karena saat itu yang terpajang dibenakku hanyalah kebebasan, disana tak ada beban, tak ada target yang
harus dicapai, tak ada kata-kata orang yang harus dipedulikan. Kini… profesi
kami berada dalam strata paling bawah dalam status sosial kemasyarakatan, pendapat kami hanya dianggap sebagai funny idea yang tak perlu dicerna. Kadang aku iri melihat tumbuh-tumbuhan itu, hanya
beratap langit , berlantai tanah tapi
mereka tak pernah mengeluh, bahkan mereka selalu memberikan manfaat untuk
lingkungan sekitarnya. Hujan semakin lebat, cahaya kilat disambut guruh diiringi suara petir melarutkan ku dalam
dimensi waktu, dulu disaat kami masih kanak-kanak bila hujan datang kami pasti
bersuka ria, Mandi hujan… itulah yang sering kami lakukan, kejar-kejaran, dan
yang lebih serunya lagi bermain bola saat hujan. Suatu hari aku melihat ibuku duduk tersenyum diberanda
rumah sambil menyaksikan kami mandi hujan,
akupun bertanya padanya. Ibu? Kenapa ibu tersenyum seperti itu?” Ibu
senang karena kalian senang nak” jawab ibu ringkas. Lalu apa yang ibu tunggu,
kok melihat langit seperti itu, ibupun menjawab “ ibu hanya hanya menunggu
hujan reda, dan ibu berharap ada pelangi sesudah hujan”. Namun saat itu setelah
hujan reda tak ada pelangi… sejak saat itu bila hujan datang akupun selalu
berharap ada pelangi.. hingga suatu sore keajaiban itupun datang…. “Pelangi
sesudah hujan” akupun bersorak… ibu… ibu… ada pelangi… ibuku hanya
tersenyum-senyum… Dan Sekarang aku baru sadar Pelangi yang dikatakan ibu
mempunyai banyak makna. Tapi tetap saja
aku menunggu Pelangi Sesudah Hujan, sekarang pun aku masih menunggunya…
walaupun aku hanya epidermis di kulit batang
0 komentar :
Posting Komentar